DEMI DAMAI Menelusuri Jejak Ingatan Puisi Pulang Melawan Lupa Karya Zubaidah Djohar
Point Reward: 0
Ketersediaan: Tersedia
Tanpa Pajak: Rp74.700,00
Tulisan-tulisan dalam buku ini mengajak kita agar setia pada rahim ingatan dalam melawan lupa atas peristiwa masa lalu, sembari menata masa depan di tengah lapisan persoalan yang berkepanjangan. Sekaligus, dimaknai sebagai sebuah kesempatan untuk menemukan jangkar yang mampu menggali dan membongkar ingatan kita serta menapakkan pemahaman mengenai pergulatan perempuan Aceh dalam meretas perdamaian sejati yang tak lekang diperjuangkan.
KATA PENGANTAR
Bagaimana memaknai kumpulan puisi Pulang Melawan Lupa di tengah putaran persoalan yang dihadapi perempuan Aceh hari ini? Kisah-kisah pergulatan melawan lupa atas peristiwa masa lalu sambil menata masa depan di tengah himpitan masa kini dapat membuat kita sesak ataupun bahkan tergoda untuk berputus asa. Berkait dengan itulah saya ingin berterimakasih yang setinggi-tingginya kepada Kak Ibed atas kesempatan untuk menuliskan pengantar ini. Bukan saja karena ini adalah salah satu kumpulan puisi yang paling kugemari, ataupun karena esai-esai itu ditulis oleh tokoh dan sahabat yang ahli di bidangnya. Terlebih-lebih karena kedua puluh lima esai tentang kumpulan puisi Pulang Melawan Lupa memberikan kesempatan bagi pembaca untuk menemukan jangkar untuk membongkar ingatan dan menapakkan pemahaman. Saat bersamaan, esai-esai ini seolah menjalin diri dalam percakapan yang menarik dan diwarnai oleh kekhasan latar belakang para penulisnya yang beragam dan tidak tunggal masing-masingnya: penyair, sastrawan, kritikus sastra, penggiat budaya, pemikir/ filsuf, akademisi, antropolog, pengamat sosial kemasyarakatan, jurnalis, pekerja media, feminis juga aktivis. Semakin saya mencoba menuliskan pengantar ini, semakin banyak percakapan yang saya simak; saling bersahutan melengkapi sekaligus memperluas cakupan hal-hal penting yang patut dipertimbangkan dalam hal pemenuhan hak asasi manusia, perdamaian, demokrasi, dan pembangunan, baik itu dalam konteks Aceh, Indonesia maupun global. Juga, tentang peran karya sastra di dalam kerja-kerja itu.
Seperti juga judulnya, para penulis esai mengingatkan bahwa kumpulan puisi ini dimaksud untuk menolak untuk alpa menyapa potongan-potongan realitas persoalan perdamaian yang semakin hari semakin terpuruk dalam pembisuan dan pengabaian. Penegasan pada persoalan-persoalan itu kita jumpai dalam catatan Fikar W. Eda, dimana luka-luka masa lalu seolah terlipat dalam gulungan masa kini dan perdebatan artifisial tentang simbol damai, semisal lambang dan bendera Aceh. Zu— demikian penyair ini juga kerap disapa—menempatkan puisinya menjadi cermin dari masyarakat, menampilkan keresahan dan kegelisahan yang ada di masyarakat. Hal ini tidaklah mudah, terutama bila potongan realitas itu berangkat dari pengalaman perempuan. Menurut amatan Ninuk Mardiana Pambudy, hal ini karena pengalaman perempuan kerap dianggap remeh dan tidak mendapat tempat, termasuk di dalam dunia kesusasteraan. Apalagi ketika potongan realitas itu, meminjam istilah Teuku Kemal Fasya, “datang dari perempuan kampung; dan “orang-orang tak bernama”…[sehingga] akan terlihat ganjil dan akan menyela ongkos perdamaian berskala global.” Juga, ketika realitas itu menggugat dikotomi publik-privat. Namun, persoalan-persoalan itu nyata ada, seperti dicatatkan oleh Olin Monteiro, memanggil-manggil kita untuk terus bertanya tentang makna damai.
Seperti diingatkan oleh Gadis Arivia, potongan-potongan realitas persoalan yang dihadapi perempuan yang dimunculkan dalam puisi-puisi itu tidak hanya untuk dikenang melainkan untuk dibongkar akar ketidakadilannya sehingga dapat dipahami mengapa derita ini tak berkesudahan untuk kemudian dapat mengubah keadaannya. Politik kuasa yang lahir dari rahim patriarki mewujud dalam kekerasan dan nafsu untuk mengontrol atas tubuh dan seksualitas perempuan—baik itu di masa konflik maupun sepuluh tahun berselang. Tubuh perempuan secara harfiah menjadi ladang pertarungan kuasa; teror pemerkosaan, penyiksaan dan perbudakan seksual, disusul dengan kelahiran aturan-aturan yang mengekang, aksi penaklukan bertameng penegakan aturan, pembiaran tindak kekerasan yang menyertainya, semua itu bukannya tanpa makna. Politik kuasa dan reka patriarki itu, dalam amatan Husein Muhammad, adalah akar petaka kemanusiaan. Ia juga mengingatkan bahwa dalam politik kuasa ada juga permainan atas nama: dulu atas nama pembangunan dan keutuhan Indonesia, kini atas nama perdamaian bahkan atas nama Tuhan. Permainan ‘atas nama’ adalah strategi andal untuk membungkam perlawanan. Lebih lanjut, Fitrian Ardiansyah mengajak pembaca untuk juga mengenali ketidakadilan ekonomi dan tata kelola sumber daya yang begitu buruk di tanah rencong sebagai aras lain akar masalah. Sementara Valentina Sagala mengajak kita untuk mengenali bagaimana hukum, yang digadang-gadang sebagai alat untuk memperbaiki keadaan, justru memperburuk ketidakadilan yang dialami oleh perempuan, khususnya korban kekerasan seksual. Sistem hukum yang patriarkis melahirkan pendekatan hukum yang positivistis yang menuhankan pembuktian fisik dan kesesuaian dengan teks Undang-undang dan ketidakberpihakan aparat yang justru menyalahkan korban dan enggan mengakui bahwa pemerkosaan itu ada dan merusak kemanusiaan. Semua itu menutup pintu keadilan bagi perempuan korban. Bagi Angela Flassy, pengalaman perempuan Aceh pascakonflik yang begitu dekat dengan realitas perempuan Papua. Solusi perdamaian yang ditawarkan, yaitu gula-gula Otonomi Khusus, justru melahirkan persoalan baru. Sementara Aceh menghadapi pergumulan kekerasan dan diskriminasi dalam pelaksanaan Syariat Islam, diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan Papua berlipat ganda akibat masalah yang lahir dari “uang otsus” yang dikucurkan guna “membeli” perdamaian di sana.
Mengenai karya ini, Gadis Arivia menegaskan bahwa Pulang Melawan Lupa membutuhkan bahasa sastra yang bukan “indah”melainkan penuh “bara”. Menurutnya hal ini menyatu dengan sifat persoalan yang diangkat; begitu mendesak, dan membutuhkan bahasa yang menggugah para pembacanya untuk turut berjuang. Namun, ketika yang diangkat adalah penderitaan di sebuah wilayah yang begitu traumatis dan mungkin tidak dapat disembuhkan, masih ada peluang untuk melakukan kritik yang jujur terhadap Pulang Melawan Lupa sebagai puisi? Pertanyaan ini dilontarkan oleh Cok Sawitri, yang menurutnya pula untuk menghindari jebakan untuk tak sampai hati melakukan kritik. Apalagi mengkritik puisi tentang penderitaan perempuan dapat disalahartikan sebagai sikap mengerdilkan pengalaman perempuan. Cok lalu mengambil risiko untuk membincang kumpulan puisi ini tentang kaidahkaidah puisi, termasuk tentang pilihan kata untuk bukan sekadar menghadirkan pengetahuan, tapi juga mencetuskan rasa dan membangun imajinasi baru tentang topik yang disampaikan. Segera saya teringat catatan Gadis Arivia tentang bagaimana “para feminis tak memiliki kesempatan untuk berindah-indah, sebab ada persoalan yang perlu disampaikan, ada keadaan yang perlu digugat dan ada perjuangan yang perlu diselesaikan.” Namun, pilihan diksi yang lugas, penuh bara dan kadang bersuara lirih dan terkesan datar, mungkin bukan hal yang tertera begitu saja. Acep Zamzam Noor pun bersetuju bahwa watak dan wajah puisi adalah semestinya puisi, “orasi yang dipuitis-puitiskan, bukan juga puisi yang sengaja diteriakkan agar terkesan kontekstual.” Baginya, suara lirih, dan terkesan datar itu kadang menimbulkan efek tak terduga dari sebuah puisi yang berbicara duka sekaligus perlawanan. Ia menambahkan, watak puisi dalam rima, majas, metafora, diksi dan repetisi, serta tipografi masih ditemukan dalam puisi-puisi Pulang Melawan Lupa.
Catatan serupa disampaikan oleh Arbak Othman yang mencatat kepiawaian Zu dalam mengolah seni bahasa menjadi kekuatan karyanya. Rangkaian kata yang dipilih jitu menyingkap pergolakan politik dan selimut keserakahan sosial yang menusuk hingga ulu hati masyarakatnya. Pun menarik bagaimana Djazlam Zainal mencatatkan pilihan diksi Zu menempatkanya sebagai pemberontak dari pengertian lazim puisi yang melankolis lewat “ungkapannya yang kering dan pejal, tetapi rontaannya begitu kelihatan.” Perbincangan ini tentu masih dan perlu dilanjutkan untuk memperkaya khazanah sastra. Betapa ruginya bila kita kehilangan ruang kritik itu, sebab artinya seperti yang diingatkan Cok Sawitri, kita akan menabuh derita baru perpuisian mengenai puisi perempuan. Meski pada saat yang sama ia juga berpendapat, di antara puisi-puisi Zu tak kehilangan watak dan wajah puisi karena masih memunculkan kesantunan majas. Donny Danardono menafsirkan ada strategi mengolah rasa dalam repetisi kata, penggalan kata, akhiran dan kalimat, pemilahan dan penjajaran waktu. Dengan strategi itu, Zu dapat menampilkan perempuan Aceh sebagai suara lain, subaltern.
Suara yang hadir dalam karya Zu memiliki beragam identitas, dalam posisinya terhadap pasukan bersenjata, di dalam relasi keluarga, dalam masyarakat. Setiap lapisan identitas itu memunculkan kerentanan yang berbeda terhadap kekerasan dan diskriminasi. Adriana Venny mengontekskan keberagaman pengalaman ini berkait dengan berbagai situasi konflik yang terjadi di tanah air, juga di berbagai belahan dunia lainnya. Benang merah dari berbagai pengalaman inilah yang mendorong komitmen komunitas dunia untuk memastikan peran dan isu perempuan tak luput dari perhatian dalam perbincangan masalah perdamaian dan keamanan. Berulang pula dalam sejumlah esai kita menemukan penegasan bahwa suara yang hadir dalam puisi Pulang Melawan Lupa bukanlah kepasrahan pada keterpurukan. Dalam catatan Damhuri Muhammad, perempuan dari berbagai latar belakang itu hadir di dalam kumpulan puisi ini adalah “orang-orang yang sedang melawan, bukan perempuan yang dengan gampang berdamai dengan kerepotan, apalagi dengan luka di sekujur tubuhnya.” Senada dengan itu, Catherine Smith menangkap suara dalam pusi-pusi Zu adalah bukti daya tahan perempuan Aceh melewati masa sulit. Menurutnya, suara-suara itu “bukan sekadar mengabarkan masa lalu, melainkan menyampaikan tantangan masa depan Aceh dan membangun ruang baru bagi rakyat di Aceh mencari keadilan.” Kathryn Robinson juga menggarisbawahi hal serupa dan menempatkannya dalam kerangka kompleksitas memahami bagaimana sebuah teror beraksi dan efeknya.
Dari kumpulan puisi ini kita melihat simbol-simbol penaklukan yang dikembangkan oleh militer dan laki-laki hadir dan direbut maknanya oleh perempuan sebagai pengorbanan dan karenanya kekuatan, bukan sekadar perangkap keterpurukan sebagai korban sebagai yang diinginkan oleh para pelakunya. Tubuh-tubuh yang luka bukan hadir menuntut balas jasa, melainkan menggugat pertanggungjawaban untuk memutus impunitas dan menghadirkan masa depan yang tak mengulang kejahatan serupa. Ini adalah upaya luar biasa untuk memastikan keberlanjutan perdamaian. Mustafa Ismail bahkan memaknai “pulang” sebagai sebuah bentuk perlawanan. Kumpulan puisi karya Zu ini dilihatnya memiliki kemampuan dalam merefleksikan nilai-nilai kemanusiaan seseorang secara lebih luas.
Kumpulan puisi Pulang Melawan Lupa juga dapat diperlakukan sebagai bukti kepemimpinan perempuan dalam membangun upaya perdamaian yang hakiki. Pengungkapan pengalaman perempuan adalah yang instrumental dalam politik memori untuk menghadapi amnesia sosial, yaitu hal yang hilang dari memori kolektif publik. Sebagaimana diulas oleh Dewi Candraningrum, amnesia sosial tidak hadir di ruang hampa, melainkan strategi yang sengaja dirancang oleh penguasa, perseorangan maupun kelompok, sebagai bagian dari upaya mempertahankan kekuasaannya. Dalam konteks konflik, amnesia sosial dirancang untuk menghindari pertanggungjawaban atas tindak kejahatan. Konsekuensinya berjangka panjang dan mendalam yang sangat berbahaya. Amnesia sosial melahirkan ketegangan-ketegangan baru yang memicu kekerasan yang hampir sama di masa lalu dan melahirkan rasa takut yang mendistorsi pemahaman masyarakat tentang keadilan. Bagi perempuan, mengambil bagian dalam politik memori adalah sebuah perjuangan sendiri. Pada amnesia sosial, pengalaman perempuan yang sedari awal telah dianggap remeh dengan gampang dihapuskan dari ingatan publik. Ninuk Pambudy mencatatkan bahwa begitu terpinggirkannya pengalaman perempuan, hingga membutuhkan seorang liyan yang pemberani untuk dapat menangkap dan mengungkap realitas itu.
Apresiasi pada kepemimpinan Zu juga dituangkan oleh Martha Sinaga, dimana kumpulan puisi ini ditangkap sebagai cetusan ekspresi yang “memadukan karakter seorang perempuan dalam berpikir dan bersikap dengan seorang ibu yang melakukan proses empiris dan logika.” Zu melakukan politik memori melalui berbagai ruang, dalam perannya sebagai penyair, civitas akademika, aktivis, juga sebagai ibu. Hal senada disampaikan oleh Eka Srimulyani, yang mengenal Zu sebagai peneliti. Narasi dalam syair Zu membawa kita pada kekuatan perlawanan atas penindasan dan kesewenangan. Patut dipahami bahwa penyikapan politik memori yang diambil Zu terhadap penderitaan dan aspirasi perempuan Aceh melalui kumpulan puisinya merupakan langkah yang berisiko tinggi. Dengan lantang ia menyatakan ingatan yang dilarang kepada dua kuasa: penguasa yang hendak menorehkan catatan sejarah tentang “perdamaian” Aceh sesuai versinya saja dan kepada mereka yang diuntungkan dalam sistem patriarkis atas ingatan yang dihilangkan. Pilihan menghadapi risiko ini menunjukkan agensi atau daya aktif dalam berpartisipasi sekaligus memimpin sebuah gerakan perubahan. Inilah makna kepemimpinan perempuan yang menurut Ruby Khalifah selalu hadir di situasi konflik dan menjadi prasyarat untuk menata masa depan.
Dalam konteks politik memori, pulang pada ingatan adalah bukan langkah mundur, kembali ke titik awal melainkan menerjang maju menyongsong masa depan. Sebagai motif purba yang terus berulang, Manneke Budiman mengingatkan bahwa pulang sama sekali “bukan ikhtiar yang mudah dan menyenangkan… [melainkan] membutuhkan kesediaan menghadapi rasa sakit dan luka yang kronis yang telah menjadi borok akibat disangkali eksistensinya terlalu lama.” Apalagi dalam konteks perempuan Aceh dimana “perdamaian memaksa mereka melupakan masa lalu, sementara bencana membuat mereka dilupakan oleh masa kini … masa depan—seperti halnya masa lalu—menjadi sebuah “alpa yang sengaja dipelihara”. Dengan demikian, Pulang Melawan Lupa adalah sebuah ajakan untuk masuk ke arena pertarungan melawan kegilaan untuk terperangkap pada trauma masa lalu dan fetish masa depan. Ajakan ini bisa menghadirkan keputusasaan, dalam ungkapan Agus R. Sarjono, “jika rumah mereka di masa kini masih mencemaskan, dan jejak masa silam masih mengeras di dinding dan lantai rumah ingatan.” Menarik bahwa Agus mengaitkan refleksinya tentang sulitnya pulang ini dengan rasa bahasa. Dalam pembendaharaan kata Indonesia, kita tak mengenal pembedaan antara house (rumah dalam arti fisik) dan home (rumah dalam semesta psikis). Pada istilah yang kedua (home), pulang mengandaikan kembali pada sebuah situasi tenteram lebih daripada kembali pada suatu bangunan tertentu, sebuah situasi yang rasanya masih belum menjadi milik Indonesia.
Bahwa ajakan untuk pulang bukanlah ikhtiar yang mudah juga disampaikan oleh Linda Christanty. Setelah membaca kumpulan puisi ini, ia tak bisa tidur nyenyak didera rasa sedih, ngilu, marah, dan geram. Saat bersamaan, bangkit rasa ingin selalu pulang ke Aceh, “untuk bersama-sama melakukan apa yang tak boleh kami lupakan: mengungkap kebenaran untuk mengakhiri kekerasan terhadap kaum ibu dan perempuan kita.” Pernyataan ini menegaskan pesan Gadis Arivia di awal tulisannya, bahwa puisi-puisi Zubaidah menuntut kesadaran pembaca “akan adanya suara yang “liyan,” menghormatinya dan kemudian terlibat untuk melakukan sesuatu. Beberapa esai di awal menegaskan tentang bagaimana proses peradilan yang adil perlu ada untuk menghadirkan damai. Yang lainnya menggarisbawahi adanya kebutuhan untuk membangun sebuah mekanisme pengungkapan kebenaran dan rekonsiliasi. Kedua langkah ini, baik proses peradilan maupun mekanisme pengungkapan kebenaran dan rekonsiliasi, bahkan dimandatkan di dalam Undang-Undang Pemerintahan Aceh sebagai tindak lanjut dari perjanjian damai. Setelah bertahun tertunda, hasil pemilu 2014 seolah membawa angin segar untuk perbaikan.
Kepemimpinan nasional yang baru, sebagaimana dicatat oleh Usman Hamid, perlu didorong untuk mengenali bahwa penundaan upaya perbaikan yang fundamental akan menghadirkan ketakutan dan mengurangi keyakinan rakyat pada Negara dalam menghadirkan keadilan dan perlindungan. Tentunya dipahami bahwa di tengah negosiasi politik yang berlangsung, kedua langkah bukanlah mudah. Kepentingan pada impunitas bukan hanya hadir dari pihak Indonesia, kebutuhan rekonsiliasi pun hadir lebih dari sekadar pusat-daerah, melainkan juga antar sesama warga Aceh. Semua ini membutuhkan kecermatan yang lebih jauh dalam pelaksanaannya agar tidak lagi mengulang proses yang melukai korban. Apalagi di tengah situasi dimana diskusi tentang langkah-langkah ini kerap hadir dan berakhir seperti sekadar keriuhan sesaat bahkan dikerangkeng dalam negosiasi politik Aceh berhadapan dengan pusat. Samsidar mencatatkan, bahwa di sinilah nilai penting puisi Zu: Pulang Melawan Lupa sesungguhnya mengajak kita semua pulang pada jalan kemanusiaan, pulang menggandeng tangan perempuan penyintas yang bergeming merajut perlawanannya atas ketidakadilan atas kebutuhan menghadirkan keadilan dan kebenaran yang merupakan fardhu kifayah umat.”
Tulis review
Nama Anda:Review Anda: Note: HTML tidak diterjemahkan!
Rating: Jelek Bagus
Masukkan kode verifikasi berikut: