Aib*
Point Reward: 0
Ketersediaan: Out Of Stock
Tanpa Pajak: Rp58.509,00
Tokoh Lune menjadi bukti betapapun orang secara individu ingin bebas dan kondisi sosial, lepas dan situasi komunal, berusaha merdeka, semata-mata memperhatikan kepuasan dan kenyamanan sendiri, ternyata tetap saja tersangkut-sangkut oleh sesuatu yang lebib besar, meskipun bisa jadi hal itu tak tampak atau tak terasa. Ini mungkin bisa mengingatkan kita pada kondisi orang memang mustahil bisa lepas dan lingkungan, negara, kondisi politik, termasuk hukum.
Avant-Propos
Prabaca dari Penerbit
Afrika Selatan sebenarnya negeri yang sangat jauh jaraknya dengan negeri kita, Indonesia, namun rupanya kita juga sudah cukup lama pula memiliki hubungan dengan negeri itu, bahkan sebelum Syaikh Yusuf, ulama Indonesia asal Makassar, akhirnya dibuang ke sana oleh pemerintah kolonial Belanda sampai meninggal. Pelabuhan Tanjung Harapan (Cape of Good Hope), yang terletak sekitar 48 km di selatan Cape Town merupakan penghubung sangat penting bagi jalur pelayaran dari Eropa, terutama Portugal dan Belanda, ke berbagai wilayah Asia, termasuk Indonesia.
Ketika sekarang Dunia mengerut, saling berhubungan, sementara sumber informasi tersedia cukup, kita bisa mudah tahu yang terjadi di Afrika Selatan, mulai dari masyarakat, budaya, dan kondisi politiknya. Orang bisa berpendapat Afrika Selatan adalah negeri yang berisi banyak ekstrem: di sana terjadi Apartheid, sebuah sistem politik yang melarang kaum tertentu tinggal maupun beraktivitas dengan lain kaum, dan memberi keistimewaan tertentu pada kaum keturunan Eropa; pelanggaran HAM masih berlangsung besar-besaran; keadilan seolah-olah berwujud dongeng; kekerasan politik masih berlangsung; dan perbedaan—bisa berupa ras, agama, sosial—tetap jadi ancaman serius.
Sejumlah penulis Afrika Selatan terus-menerus berusaha menggugat kenyataan sosial dan kejahatan itu menjadi inspirasi yang barangkali tidak ada habisnya; beberapa di antara mereka bahkan sangat aktif terlibat politik. Wajar realitas sosial sakit itu mengusik penulis, karena mayoritas mereka menulis kondisi, perenungan, termasuk gugatan yang langsung atau tidak bisa ditelusuri sumbernya di tempat tinggalnya, tempat sehari-hari penulis merasakan gejala alam, interaksi sosial, ketegangan keadaan, termasuk pergolakan pemikiran. Ambil contoh Nadine Gordimer, penulis Afrika Selatan pertama yang dapat Nobel Sastra (1991). Dia hidup di tengah-tengah pergolakan sosial, kesenjangan sosial, juga pertentangan kelas sangat tajam; yang dilakukannya ialah mengkritik rasisme dan ketidakadilan, baik melalui melalui buku maupun dengan aktif terlibat politik.
J.M. Coetzee, penulis Afrika Selatan kedua yang dapat Nobel Sastra (2003), dalam Aib ini terusik sekali oleh keadaan sosial tempat seseorang hidup di kota Afrika Selatan, berinteraksi, memiliki kehidupan politik tertentu. Makin dalam membuka halaman, pembaca bertemu David Lurie, profesor sastra Inggris penyendiri pencari kenikmatan duniawi, yang tak bisa lepas dari sistem sosial di tempat hidupnya. Pada akhirnya dia berurusan dengan pengadilan universitas, publik, polisi, kawanan penjahat dan pemerkosa, padahal keinginannya sederhana: tenang melakukan keinginan pribadi, menghasilkan sesuatu yang berguna minimal untuk diri sendiri. Lurie adalah tipikal orang apolitis, tapi sikap itu gagal dijalankan bila orang berada di tempat yang secara sosial tak bisa dipungkiri tegang, mudah goyah oleh ‘gangguan kecil.’ Gangguan kecil itu bersumber dari sifat Lurie yang womanizer, lelaki yang terus-menerus butuh perempuan demi kepuasan seks. Tapi kita akan kecele bila menyangka, atau berharap, Aib adalah novel yang menampilkan seks sebagai sajian utama. Malah di sepanjang halaman kita akan diberi kenyataan kasar, menyakitkan, ironik, tentang nasib seorang kulit putih di dalam kondisi sosial politik maupun hubungan antarpersonal rentan gangguan.
Dalam Aib Afrika Selatan sudah ada pada periode pos-Apartheid, tapi kita bisa segera merasakan bahwa ketidakadilan itu masih tersisa dan mudah sekali melahirkan stigma. Orang kulit putih terpelajar seperti Lurie ternyata mudah sekali bangkit rasa curiganya pada orang kulit hitam, apalagi yang secara sosial dan ekonomi dipandang lebih rendah, meski itu tak dia maksudkan sama sekali, melainkan terjadi secara bawah sadar. Lurie menjadi bukti betapapun orang secara individu ingin bebas dari kondisi sosial, lepas dari situasi komunal, berusaha merdeka, semata-mata memperhatikan kepuasan dan kenyamanan sendiri, ternyata tetap saja tersangkut-sangkut oleh sesuatu yang lebih besar, meskipun bisa jadi hal itu tak tampak atau tak terasa. Ini mungkin bisa mengingatkan kita pada kondisi orang memang mustahil bisa lepas dari lingkungan, negara, kondisi politik, termasuk hukum.
Dalam novel ini Coetzee tak sepatah pun menyebut ‘Apartheid’, tidak eksplisit menyinggung politik, ketegangan hubungan antara ras kulit putih dan ras kulit berwarna, labilnya kondisi sosial; malah dengan ganas menghadirkan Lurie yang hampir di ujung putus asa tak bisa memperoleh ketenangan sehabis seluruh pesona dirinya menurun, kemampuan berkaryanya mandek, sementara reputasi sebagai pengajar juga biasa saja. Tapi begitu membuka halaman, dengan cepat kita disodori realitas banal yang bisa terjadi di manapun; betapa prasangka buruk mudah sekali menular, harga diri sulit sekali kompromi, maaf sangat sulit diucapkan; sedangkan hasrat mudah sekali diluapkan, dan niat baik kadang-kadang sulit sekali dilakukan. Memandang Lurie sangat mungkin pembaca tetap kehilangan simpati karena moral dan pribadinya longgar sekali, tapi bila mau lebih luas memandang sisi hidup, bisa sabar bahwa manusia ternyata bisa berlapis-lapis menampilkan sosok, kita pasti bisa memandang seseorang atau keadaan lebih proporsional, bahwa banyak hal ternyata memiliki dimensi lebih luas, bukan sekadar seperti yang tampak.
Di sisi lain wajar bila pembaca cepat sadar tema novel ini punya banyak aspek untuk diperhatikan, terutama dari sisi relasi antarpersonal, sosial-politik, ras, gender; lebih jauh kita bisa membicarakan moralitas dan kekerasan. Tambahannya, kita mendapat wawasan sastra, terutama puisi, tentang Lord Byron (1788-1824), penyair sangat berpengaruh dalam gerakan Romantik akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19 di Eropa. Dari sana kita bisa sangat merasakan betapa sebuah negeri dan bangsa yang beranjak meninggalkan masa lalu kelam masih menyimpan kemungkinan kambuh; David Lurie jadi simbol generasi lama yang kehilangan peran, kehilangan hormat dari anak dan generasi muda. Dia hampir kehilangan martabat karena tak tahan menghadapi konsekuensi dan peristiwa di luar prakiraannya, tapi di ujung novel ada sejumlah harapan yang bisa membuatnya tahan dan siap menghadapi hari-hari tuanya: penciptaan, kelahiran, juga kedamaian.
Dari sisi penulisan kita mendapat contoh novel yang ditulis sederhana, jelas (tidak kabur sama sekali) efektif, tapi pembaca masih bisa menarik banyak simpul dari sejumlah peristiwa dan narasi di dalamnya; hubungan ayah-anak yang kering namun tulus, tetap cukup menyediakan kasih; keuletan seorang sarjana menuntaskan idealitas, keputusan anak yang di luar prakiraan orangtua, seseorang yang payah menahan hasrat tapi mudah jatuh lagi karena nyaris tak ada penghalang. Jelas dia tipikal orang mapan, puas dengan kenyamanan hidup, tapi Lurie moderat, setidak-tidaknya terhadap pilihan orang lain; lebih jelas lagi dia jujur. Meski kerap merasa pertimbangannya lebih sehat, dia cepat belajar dari fakta atau lingkungan yang dialaminya. Dia tampak tahu diri atas kapasitasnya, termasuk bahwa kesarjanaannya tidak berpengaruh banyak pada kehidupan.
Pembaca Indonesia relatif terbatas mengenal sastra Afrika Selatan, kami berharap terjemahan atas Disgrace ini memberi sumbangan berarti bagi kekayaan budaya dan sastra kita. Sebenarnya banyak penulis berwibawa dari negeri itu, terutama karena sejarah keturunan Eropa telah tinggal di sana lebih dari 300 tahun lamanya; dan sepertinya lazim negeri yang penuh pergolakan, sejarahnya kompleks, mampu menghasilkan sastra berkelas. Bertahun-tahun silam YOI menerbitkan terjemahan Waiting for the Barbarians (1980), salah satu novel Coetzee yang paling direkomendasikan dan kini telah masuk kategori ‘klasik modern’. Buku itu berjudul Jeritan Hati Nurani: Dilema Kehidupan Sang Hakim, diterjemahkan Rayani Sriwidodo dan Sori Siregar; tapi setelah penerbitan buku itu kita kelihatannya berhenti mengeksplorasi sastra Afrika Selatan, meskipun sejumlah cerpen terjemahan dari berbagai khazanah negeri Afrika sesekali diterbitkan.
Banyak kritik menyebut Coetzee tidak pernah secara terang-terangan mengecam ketidakadilan yang terjadi di negerinya atau bereaksi sangat keras terhadap Apartheid sebagaimana Gordimer, bahkan tampak dia bukan tipe penulis Afrika Selatan yang sengaja menggunakan istilah itu sebagai komoditas. Tapi Afrika Selatan tetap merupakan sumber inspirasi bagi kesuburan tulisannya. Waiting for the Barbarians, meskipun tanpa spesifik menyebut negeri tertentu atau waktu tertentu di dalamnya, pembaca bisa merasakan bahwa karya itu tetap kental beraroma negerinya, yakni tentang kompleksitas kehidupan politik di bawah pemerintahan totalitarian. Anggapan bahwa Coetzee kurang peduli isu politik barangkali disebabkan karena dia menulis sejumlah novel yang tidak bersetting di negerinya, subjeknya tidak berkaitan dengan masalah sosial negerinya, atau dia sampaikan melalui alegori yang dimensinya cenderung terasa lebih misterius dan universal. Tapi sebenarnya dia mengeksplorasi akibat konflik rasial baik pada individu dan masyarakat, menyebabkan satu sama lain asing; setidak-tidaknya tekanan politik dan sejarah tetap merupakan isu sentral pada karyanya dan itu cukup mudah dikenali. Kecenderungan alegori itu sangat terasa di novel yang mengantarkannya meraih Booker Prize pertama kali, Life and Times of Michael K.
Pada 2004 Jalasutra menerbitkan Writing and Being, buku kritik karya Nadine Gordimer. Selain Gordimer dan Coetzee, penulis terkemuka dari sana misalnya Alan Paton, André Brink, Bessie Head, Dan Jacobson, Breyten Breytenbach, dan Christopher Hope. Generasi baru penulis Afrika Selatan antara lain diwakili oleh Damon Galgut. Di dalam Writing and Being Nadine Gordimer menulis dua bab khusus tentang kehidupan sastra di negerinya, dari sana kita memperoleh nama sastrawan lain yang patut diperhatikan, misalnya Carl Niehuis dan Ronnie Kasrils, meski tentu kita di sini mungkin sulit sekali bisa membaca karyanya.
Ditinggali oleh banyak etnis, Afrika Selatan memiliki 11 bahasa resmi, ialah Inggris, Afrikaans, Ndebele, Sotho (Utara dan Selatan), Swati, Tsonga, Tswana, Venda, Xhosa, dan Zulu. Karena sejarah politiknya ganas, kita mengenal sejumlah orang terkemuka yang muncul dari kondisi itu, seperti Desmond Mpilo Tutu, Nelson Mandela, Stephen Biko, dan Farid Esack.
Dalam bukunya, Long Walk to Freedom (1994), Nelson Mandela menulis: Di Afrika Selatan, jadi miskin dan (berkulit) hitam adalah normal, jadi miskin dan (berkulit) putih adalah tragedi. Selesai baca novel ini wajar bila kita segera sadar, seperti apa David Lurie, Afrika Selatan, kehidupannya, dan terutama bahwa kemanusiaan, moralitas, meskipun universal, ternyata bukan sesuatu yang mudah ditetapkan nilainya.[]
Redaksi Penerbit Jalasutra
Tentang Penulis
John Maxwell Coetzee lahir pada 9 Februari 1940 di Cape Town, Afrika Selatan. Coetzee telah menulis sekitar 20 buku, terutama novel, kritik dan esai. Buku fiksi pertamanya adalah Dusklands (1974), setelah itu diikuti karya dengan reputasi mengagumkan, antara lain In the Heart of the Country (1977), Waiting for the Barbarians (1980), Life and Times of Michael K (1983), The Master of Petersburg (1994), Disgrace (1999), dan Elizabeth Costello (2003). Buku nonfiksinya antara lain White Writing: On the Culture of Letters (1988), Doubling the Point: Essays and Interviews (1994), Giving Offense: Essays on Censorship (1996), Boyhood: Scenes from Provincial Life (1998), dan Youth: Scenes from Provincial Life II (2002).
Coetzee mendapat berbagai penghargaan sastra baik di negeri sendiri dan luar negeri, juga dari lembaga sastra dunia. Dia tiga kali mendapat Central News Agency (CNA), anugerah sastra paling terkemuka di Afrika Selatan pada 1978, 1980, 1983; hingga kini satu-satunya penulis yang dua kali memperoleh Booker Prize, yakni untuk Life and Times of Michael K dan Disgrace. Pada 2003 dia mendapat hadiah Nobel Sastra.
Sarjana dari Universitas Cape Town, mendapat Ph.D. dari Universitas Texas, Austin (AS), kini dia adalah Profesor Sastra & Bahasa di alma maternya. Pada 1963 dia menikahi Philippa Jubber (1939-1991), memiliki dua anak, Nicolas dan Gisela. Pada 2002 Coetzee pindah ke Australia, hidup bersama rekannya, Dorothy Driver, tempat dia memegang posisi kehormatan di Universitas Adelaide. Selain itu dia menerjemahkan karya penulis lain ke dalam bahasa Belanda, Jerman, Prancis, dan Afrikaans, bahasa mayoritas penduduk kulit putih di Afrika Selatan.[]
Tulis review
Nama Anda:Review Anda: Note: HTML tidak diterjemahkan!
Rating: Jelek Bagus
Masukkan kode verifikasi berikut: