RESUME Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop
15.13Judul buku : Cultural Studies Dan Kajian Budaya Pop
Penulis : John Storey
Penerbit : Percetakan Jalasutra
Tebal : Xii+ 188 Hlm.; 15×21 Cm
Cetakan : 1, Desember 2006
ISBN : 979-3684-68-2
1. CULTURAL STUDIES DAN KAJIAN BUDAYA POP: SEBUAH PENGANTAR
Secara garis besar buku ini memiliki tujuan: pertama, mengantarkan para mahasiswa dan pembaca lainnya yang tertarik pada kajian budaya pop kontemporer; kedua, mengusulkan peta perkembangan cultural studies melalui suatu pembahasan serangkaain teori dan metode untuk mengkaji budaya pop. Cultural studies mengandung wacana yang berlipat ganda; bidang ini memuat bidang sejarah yang berbeda. Cultural studies merupakan seperangkat informasi; ia merekam momen-momen di masa lalu dan kondisi krisisnya (conjuncture) sendiri yang berbeda. Cultural studies mencangkup berbagai jenis karya yang berbeda. Ia senantiasa merupakan seperangkat informasi yang tidak stabil. Ia mempunyai banyak lintasan; kebanyakkan orang telah mengambil posisi teoritis yang berbeda, kesemuanya teguh paada kependiriannya.
Cultural studies didasarkan marxisisme menerangkan cultural studies dalam dua cara fundamental. Pertama, memahami makna-makna dari teks atau praktik budaya, kita harus menganalisis dalam konteks sosial dan historis produksi dan konsumsinya. Kedua, yang diambil dari marxisme adalah pengenalan bahwa masyarakat industrial kapitalis adalah masyarakat yang disekat-sekat secara tidak adil menurut garis etnis, gender, keturunan dan kelas. Ideologi merupakan konsep sentral dalam kajian cultural studies. Cultural studies juga menegaskan bahwa penciptaan budaya pop (praktik produksi) bisa menentaang pemahaman dominan terhadap dunia serta menjadi pemberdayaan bagi mereka yang subordinat. Sebuah teks tidak menyandang politik atau maknanya sendiri yang telah ada dalam dirinya sendiri; tak ada teks yang mampu menjamin efek apa yang akan terjadi. Sebuah teks hanya bisa bermakna sesuatu hanya dalam konteks pengalaman dan situasi khalayaknya yang berbeda-beda.
Cultural studies menrut John Storey yakni menghadirkan sederetan teori dan metode yang telah digunakan dala cultural studies untuk mengkaji budaya pop kontemporer. Terutama sekali, sebisa mungkin saya mencoba membatasi kupasan kritis teori-teori dan metode sampai pada tingkat minimum.
2. TELEVISI
Encoding Dan Decoding Wacana Televisi
Hall menjabarkan momen encoding dan decoding mungkin tidak benar-benar simetris. Tidak ada yang niscaya yang berkenaan dengan hasil dari proses apa yang dimaksudkan dan apa yang diterima boleh jadi tidak klop. Para profesional media mungkin mengingatkan decoding sama dengan encoding, namun mereka tidak bisa memastikan atau menjamin hal ini. Encoding dan decoding terbuka bagi resiprositas yang berubah-ubah ditentukan oleh kondisi eksistensi berbeda. Senantiasa ada kemungkinan kesalahpahaman. Alur proses decodingnya yakni dari ‘dominan’-ternegosiasikan-hingga oposisional.
Televisis Dan Ideologi Budaya Massa
Ideologi budaya massa adalah pandangan dimana budaya pop merupakan produk dari produksi komoditas kapitalis dan karenannya merupakan subyek bagi hukum bagi ekonomi pasar kapitalis; hasil dari apa yang tampaknya merupakan sirkulasi tak berujung dari komoditas yang didegradasikan, yang satu-satunya signifikansinya yang nyata adalah bahwa mereka meraup keuntungan bagi para produsernya. Ideologi budaya massa seperti wacana ideologi manapun, bekerja dengan menginterpelasi individu kedalam posisi subyek yang spesifik. Ideologi membuat pencarian bagi penjelasan-penjelasan yang lebih detail dan bersifat personal menjadi tidaak berguna, sebab ideologi menyediakan model penjelasan akhir yang meyakinkan, terdengar logis dan memancarkan legitimasi.
Dua Ekonomi Televisi
John Fikse berpendapat bahwa komoditas budaya termasuk televisi yang darisitu budaya massa tersebar dalam dua ekonomi sekaligus: ekonomi finansial dan ekonomi kultural. Ekonomi finansial terutama menaruh perhatian pada nilai tukar, sedangkan ekonomi kultural berfokus pada nilai guna.dua ekonomi Fiske beroperasi demi kepentingan pihak petarung yang saling berlawanan: ekonomi finansial cendrung mendukung kekuatan kerjasama dan homogenisasi, sementara ekonomi kultural cenderung mendukung kekuatan perlawanan dan perbedaan.
3. FIKSI
Ideologi Dan Pembacaan Simptomatik
Ideologis adalah sebuah sistem yang tertutup. Wacana idelogis sesungguhnya hanya bisa menyelesaikan problem-problem itu sejauh yang ia mampu jawab. Sebuah problematika adalah stuktur teoritis (dan ideologis), yang merangkai dan memproduksi repertoir wacana yang saling dan berkopetensi yang didalamnya sebuah teks secara material diorganisasi. Pembacaan simptomatik menurut Adam Smith ialah pembacaan yang menguak peristiwa yang tak terkuak di dalam teks yang dibacanya dan dengan cara yang sama menghubungkannya pada sebuah teks yang berbeda, yang hadir sebagai ketidak hadiran yang diperlukan pertama kali.
Bentuk-Bentuk Pembacaan
Bond and Beyond karya Bennett dan Woollacott (1987) fugur James Bond telah diproduksi dan direproduksi melalui teks dan praktik budaya yang beragam.Teks-teks fiksi populer tak lebih dari sekedar wadah-wadah ideologi, sebuah alat yang menyenangkan dan senantiasa berasil mentransmisikan ideologi dominan dari industri budaya massa yang dikorbankan dan termanipulasi. Analisis terentang mulai dari novel dan film hingga kritik akademis dan jurnalisme showbiz, artikel majalah subkuktur dan interview dengan yang berbeda dan berubag dimana figur bond dipublikasikan sebagai pahlawan populer. Perhatian ini mencakup hubungan ideologis yang secara historis antara barat dan timur, kapitalisme dan komunisme, maskulin dan feminim, dan juga gagasan yang berubah ke-inggris-an.
Dengan kata lain, teks dan konteks bukanlah moment-moment yang terpisah yang tersedia bagi analisis pada waktu yang berbeda. Teks dan konteks senantiasa merupakan bagian dari proses yang sama, moment yang sama keduanya tidak dapat dipisahkan. Seorang tidak bisa memiliki teks tanpa sebuah konteks atau konteks tanpa sebuah teks.
Membaca Fiksi Romantis
Minat Rosalind Coward (1984), pada fiksi romantis sebagian diilhami oleh pernyataan bahwa selama dekade silam, bangkitnya feminisme hampir paralel dengan pesatnya pertumbuhan popularitas fiksi romantis. Coward yakin dua hal tentang fiksi romantis: bahwa keduanya harus tetap memuaskan sejumlah kebutuhan yang sangat jelas dan bahwa keduanya menawarkan sangat kuat. Ia menyataa fantasikan bahwa fantasi-fantasi yang dikembangkan dalam fiksi romantis adalah pradewasa hampir sangat prasada. Seseorang harus meneruskan untuk mengetahui aktifitas seleksi, pembayara, interpretasi, penetapan, penggunaan mereka yang lainnya sebagainya. Sebagai satu bagia yany esensial dari proses budaya dan praktik dari pembentukan makna.
4. FILM
Strukturalisme Dan Film Pop
Pada tahun 1970-an, ada pembagian yang jelas dalam cultural studies antara study teks dan study budaya yang diekspresikan dalam kehidupan seseorang (lived cultures).jika objek studynya adalah teks, metode analisisnya adalah strukturalisme. Strukturalisme merupakan metode teoritis yang berasal dari karya ahli bahasa Swiss, Ferdinand De Saussure (1974). Saussure menyatakan bahwa makna yang dihasilkan melalui proses dan seleksi. Fungsi bahasa adalah mengorganisir dan mengonstruksi akses kita terhadap realitas, ketimbang merefleksikan realitas yang telah ada.
Postrukturalisme Dan Film Pop
Postrukturslisme terhadap perkembangan topik telah punya banyak sekali pengaruh baik terhadap cultural studies maupun study film.struktur perkembangan dan pengartikulasiannya kembali melalui pembacaan kritis atas strukturalisme untuk menghasilkan psikoanalisis postruktualisme.
Cultural Studies Dan Film Pop
Menurut Stace, studi film yang telah mempengaruhi konsusmsi cenderung mengekalkan pendekatan terhadap subyek yang sifatnya ditentukan oleh produksi, yang menjadi cara-cara industri film menghasilakan penonton bioskop sebagai konsumen baik film maupun produk-produk industri lainnya sebagai objek studinya. Wacana film oleh Laura Mulvey dalam studynya mencoba melampaui ‘penonton tekstual’ untuk menanalisis respos perempuanmasa kini di tenggah khalayak.
Pendekatan Stacey merepresentasikan sebuah bantahan yang sangat bagus terhadap klaim-klaim universalitis dan kebanyakan sine-pisikoanalisis. Dengan analisis yang bergerak, sebagaimana ia lakukan dari teks film menuju khalyak perempuan, kekuasaan patriarkal Hollywood mulai terlihat kurang monolitik, alias banyak celah. Dengan mempelajari khalayak perempuan, ‘kepenontonan perempuan mungkin bisa dilihat sebagai sebuah proses menegosiasikan makna-makna dominan sinema Hollywood, dan bukannya salah satu dari yang diposisikan secara pasif olehnya’.
5. SURAT KABAR DAN MAJALAH
Pers Populer
Bagi Colin Sparks (1992), perbedaan penting antara pers populer dan apa yng dimaksud sebagai pers ‘berkualitas’ adalah pengerahan (oleh pers populer)‘yang personal’ sebagai kerangka kerja yang bersifat menjelaskan. Menurut Fiske, pers populer beroperasi pada garis di atas garis batas antara yang publik dan yang rivat: gayanya sensasional terkadang skeptis, tidak jarang sesunggunnya moralitas. Ungkapannya populis longgaran bentuknya menarik perbedaan statistik antara fiksi dan dukumenter’ antara berita dan hiburan.
Majalah Untuk Perempuan Muda Dan Perempuan Dewasa
Janice Winship (1987) berpendapat bahwa ‘menghilangkan majalah perempuan berarti menghilangkan kehidupan jutaan perempuan yang membaca dan menikmatinya setiap minggu. Menurutnya studi budaya femins harus mampu mengekplorasi dialektika antara ‘daya tarik dan penolakan’. Bagian dari proyek Winship adalah ‘menjelaskan daya tarik formula majalah dan mencermati secara kritis berbagai keterbatasan dan potensinya bagi perubahan’. Apa yang sungguh sungguh dijual dalam fiksi-fiksi majalah perempuan, dalam editorial atau iklan, fashion dan baran perabotan rumah tangga masak-memasak dan kosmetik, merupakan femininitas yang sukses dan karenanya menyenangkan.
Membaca budaya Visual
Karya yang paling berpengaruh perihal budaya pop visual dalam study budaya adalah karya fundamental teoritikus budaya Prancis Roland Barthes yang bertujuan untuk mengeksplisitkan apa yang seruing kali tetap implisit dalam berbagai teks dan praktik budaya pop. Prinsip utamanya adalah menginterogasi, suatu hal yangg jelas keliru, sebagaimana ia menyatakan dalam pendahuluan pada edisi 1957 Mythologis. Musik pop beroperasi di dalam semacam dialektika yang letih: untuk mengonsumsinya menuntut pengalihan dan pemalingan perhatian, sementara konsumsi terhadap musik pop menghasilkan pengalihan dan pemalinggan dalam diri konsumen.
6. MUSIK POP
Ekonomi Politik Musik Pop
Ekonomi politik budaya menurut Peter Goldin dan Graham Murdock (1991) dua eksponen terkemuka pendekatan in, ekonomi budaya politik memfokuskan aksi timbal balik antara dimensi simbolik dan dimensi ekonomis komunikasi publik (termasuk musik pop). Pendekatan ini bermaksud menunjukkan bagaimana cara pembiayaaan dan pengorgamisasian produksi budaya yang berbeda punya konsekuensi yang membekas pada deretan wacana dan representasi diranah publik pada akses publik khalayak terhadap wacana dan representasi itu.
Kaum Muda Dan Musik Pop
Kajian Cultural Studiesberkenaan dengan budaya musik-pop lebih tepat di mulai dengan karya Stuart Hall dan Paddy Whannel (1964). Sebagaimana ia menegaskan, ‘potret anak muda sebagai orang lugu yang diekspoitasi’ olah industri musik-pop’ terlalu disederhanakan’. Mereka berpendapat bahwa terdapat konflik yang sangat sering antara pengguna teks atau praktik yang dipahami oleh khalayak, dan penggunaan yang dimaksudkan oleh para produser. Musik pop mempertontonkan realisme emosional’; lelaki dan perempuan muda ‘mengidentifikasi diri mereka sendiri dengan representasi koletif ini, dan menggunakannya sebagai fiksi-fiksi penuntun. Fiksi simbolik tersebut adalah cerita rakyat yang dengan cara itu anak usia belasan, sebagian membentuk dan menyusun pandangan dunianya.
Kata-Kata Dan Musik
Dalam lagu kata-kata merupakan tanda dari suara. Sebuah lagu merupakan performa dan kata-kata dalam lagu senantiasa diucapkan -sarana bagi suara.na bagi suara. Struktur bunyi merupakantanda langsung dari emosi serta ciri dari dari karakter. Lagu-lagu pop tidak merayakan sesuatu yang diartikulasikan dan penilaian terhadap penyanyi pop tidak tergantung pada kata-kata melainkan pada bunyi-pada bunyi yang timbil disekitar kata. (Frith 1983:35))
Politik Dan Musik Pop
Politik memasuki momen yang berbeda dalam penciptaan musik pop; distribusi, performa konsumsi, dan lain sebagainya. Politik itu berkenaan dengan kekuasan, dan musik pop bisa mempunyai kekuatan besar. Para politisi menceburkan diri mereka dalam musik pop dengan cara lain - misalnya, tuntutan terhadap sensor. Musik pop bisa bersifat politis jika pada musisi mangatakan demikian. Industri musik punya definisi musik pop politiknya sendiri: pop politik sebagai kategori penjualan.
7. KONSUMSI DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI
TEORI-TEORI KONSUMSI
Bagi Karl Marx dan frederick Engels, transisi dari feodalisme ke kapitasisme adalah suatu transisi dari produksi yang digerakan oleh keuntungan. Menurut Marx (1975; pertama kali dipublikasikan pada 1844), alienasi-alienasi diakibatkan oleh ‘fakta bahwa tenaga kerja adalah sesuatu yang eksternal bagi buruh. Proses tersebut didorang oleh apa yang disebut ideologi konsumerisme - bahwa makna kehidupan harus kita temukan pada apa yang kita konsumsi, bukan pada apa yang kita hasilkan. Herbert Marcuse (1968) berargumen, untuk menunjukan bahwa ideologi konsumerisme mendorong kebutuhan palsu dan bahwa kebutuhan ini bekerja sebagai satu berbentuk kontrol sosial.
Konsumsi Subkultural
Konsumsi subkultur adalah konsumsi pada tahapnya yang paling diskriminatif. Melalui suatu proses ‘perakitan’ subkultur-subkultur mengambil berbagai komoditas yang secara komersial tersedia untuk tujuan dan makna subkultur itu sendiri. Analisis subkultur selalu cendrung merayakan yang luar biasa sebagai bertentangan dengan yang biasa. Subkultur-subkultur menghubungkan kaum muda dengan perlawanan, yang secara aktif menolak menyesuaikan diri pada selera komersial pasif mayoritas kaum muda.
Budaya Penggemar
Menurut Joli Jenson (1992), ‘Literatur mengenai kelompok penggemar dihantui oleh citra penyimpangan. Penggemar selalu dicirikan (mengacu pada asal-usul istilahnya) sebagai suatu kefanatikkan yang potensial. Catatan mutakhir paling menarik mengenai budaya penggemar dalam cultural studies adalah Textual Poachers (1992) karya Henry Jenkins. Jenkins mendekati kelompok penggemar sebagai ‘seorang akademikus (yang mengakses teori-teori budaya pop tertentu, seperangkat literatur kritis dan etnografis) maupun sebagai seorang penggemar (yang memiliki akses terhadap pengetahuan tertentu dan teradisi-tradisi dalam komunitas tersebut.
Berbelanja Sebagai Budaya Pop
Berbelanja adalah suatu aktivitas yang sangat komples. Konsumsi selalu lebih dari sekedar aktivitas ekonomi - mengonsumsi produk atau menggunakan komoditas untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhan material Wills berpendapat bahwa dorongan kapitalis akan keuntungan menghasilkan kontradisi-kontradisi yang bisa dimanfaatkan oleh kreativitas simbolik dan ranah budaya bersama.
KELEBIHAN BUKU:
John Storey berusaha mengadirkan teori dan metode yang telah digunakan dalam kajian cultural studies dan kajian budaya kontemporer. Ia dalam menyusun buku ini mencegah sekaligus ingin menghindari budaya ‘penulisan opini’. Dia menghindari terjadinya upaya pemberiam solusi karena pada dasrnya dalam bacaan ini solusi dan kesimpulas kembali pada pembaca, dalam mengambil sudut pandang yang berbeda-beda. Selain itu kekayaan materi yang disajikan olej Storey itu saling melengkapi satu sama lain, sehingga pembaca mendapatkan kekayaan dalam sego hal ilmu klasik yang ada. Kupasan materi yang lebih mendalam memudahkan kita untuk mencerna makna yang terkandung meskipun dengan begitu tidak di pungkiri ada beberapa makna yang ambigu.
KEKURANGAN BUKU INI.
Kita dalam membaca buku ini, kurang menarik perhatian pembaca karena buku ini benar-benar buku ilmiah yang harus ditelaah lebih mebdalam dan harus memiliki pengantar buku lain yang dapat menunjang. Dalam penulisan buku ini terdapat pengulanggan penulisan (kalimat ganda) yang secara jelas meski itu adalah pendapat para ahli. Karena buku ini merupakan buku terjemahan yang ditulis dalam bahasa Inggris diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, terdapat pengulanggan atau penempatan kata yang tidak sesuai dengan struktur kaliamat yang benar yang sesuai dengan standar. Di dalam buku ini juga terdapat banyak kata-kata ilmiah yang sulit untuk dicerna, sehingga sering kali kebinggugan dalam menafsirkan makna sebenarnya yang disampaikan.
Teks ini dikutip utuh dari https://ekasulfiah.blogspot.com/2013/06/resensi-cultural-studies-dan-kajian.html
0 komentar